Pages

SPACE FOR IKLAN

Senin, 10 Oktober 2011

"Pemujaan Terakhir di Bulan Bakha"


oleh Muhammad Harya Ramdhoni pada 26 September 2011 jam 22:15

Pemujaan Terakhir di Bulan Bakha  fragmen dari Novel "PERSAUDARAAN MAULANA" sekuel kedua Novel "PEREMPUAN PENUNGGANG HARIMAU"
Makam Ratu Sekeghumong di Perbukitan Bedudu Belappau, dua minggu setelah kejatuhan Sekala Bgha.
SINDI tak henti ciumi nisan pada kubur batu itu. Tangisnya terputus-putus hanyutkan sesiapa saja yang hadir disitu tak terkecuali suami, ayah mertua dan ketiga saudara iparnya. Isaknya terdengar tertahan. Tercekat-cekat bagai suara jabang bayi. Sesak didadanya adalah hasil persekutuan berbagai perasaan sedih, marah, dan dendam. Berbagai macam perasaan itu diaduk menjadi satu menghasilkan sebuah kepiluan nan asing. Keganjilan yang tak ia kenali lagi rupanya. Di depan kubur batu itu ia ingin berucap agar amarah, dendam dan pilu itu segera mendapat pelampiasannya masing-masing. Tetapi ia tak mampu. Dan sesungguhnya ia memang betul-betul tak sanggup bahkan untuk berkata sesayup-sayup sampai sekalipun. Kata-kata yang biasa terucap begitu saja dengan riangnya tiba-tiba lindap dari belah bibirnya yang ranum. Bahkan sepasang lesung pipinya turut bersembunyi. Seolah merasa tentram dininabobokan kedua belah pipi gembilnya nan menggemaskan. Hujan yang tiba-tiba rinai membawa satu pertanda. Sebuah isyarat dari hati perempuan belia yang remuk redam. Disebab kehilangan ibunda tercinta. Disebab tersandera pada dua perkara, bersetia pada ajaran leluhur atau menyerah takluk pada ketampanan lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Ia dengan sadar dan tanpa paksaan telah memilih yang kedua. Mengkhianati Ibunda Ratu Sekeghumong sekaligus leluhur dan wangsanya sendiri adalah pilihan pahit yang dulu sempat ia sesali. Tetapi kini sama sekali sesal itu perlahan-lahan mulai hilang. Lesap entah kemana. Ia menangis pagi ini bukan disebabkan sesal telah khianati ibu, wangsa dan leluhurnya. Tangisnya adalah pelampiasan belaka pada ketidaksanggupan menerima kenyataan bahwa ibunya harus berpulang dengan cara mengenaskan, terbunuh oleh saudara iparnya sendiri. Lebih dari itu ia sesali juga dirinya yang tak sempat melihat detik-detik kepergian Ibunda Ratu menuju baka.
Airmatanya tak henti meleleh dan sedu-sedannya makin menghebat. Maulana Belunguh sigap memeluknya dalam hangat. Sesekali tangan lelaki muda perantau Peuereulak itu mengelus-elus perut istrinya yang semakin membesar. Ia rasakan ada getaran hidup merambat pelan. Nafas terputus-putus dari janin yang menghisap saripati makanan ibunya. Ada bayi disana. Ada sesosok makhluk hidup temurun dua zuriat yang saling bermusuhan. Cucu kandung dua orang yang saling bertikai, Sekeghumong dan Maulana Penggalang Paksi.
* * * * *
SINDI telah lama mahfum ibunya akan segera berpulang ke pangkuan Ilahi. Isyarat dari Yang Maha Ghaib telah ia terima melalui mimpi berkali-kali, belasan bulan lalu sejak kisah cintanya dengan Maulana Belunguh baru diukir oleh malaikat penjaga cinta.  Mimpi pertamanya perihal kematian ibunya hadir dalam wujud yang amat mengerikan. Ibunya muncul dengan kepala nyaris putus dan leher bersimbah darah. “Anak perempuan terkutuk! Semestinya ku gugurkan engkau sejak masih berupa janin!”, suara Sekeghumong terdengar menakutkan berbaur dengan lintasan sosok sang ratu yang mengerikan.
Mimpi-mimpi serupa bergantian mengunjungi alam bawah sadarnya dan memapah dirinya menuju ketakutan tak terperi. Dari mimpi-mimpi itu tersirat betapa tak sedikitpun kerelaan menatah dalam hati ibunya. Restu dan doa memang tak pernah didapat Sindi demi menempuh bahtera perkawinannya dengan Belunguh. Restu dan doa yang tak pernah terucap disebab kebencian dan kesumat yang terlahir.
“Bukan hanya karena lelaki yang tengah kau puja menganut agama dan igama berbeda, Nak, tetapi juga karena perbedaan kasta di antara kalian yang mencolok. Kekasihmu itu tak jelas asal-usulnya. Siapa dia? Keturunan siapa ayahnya? Dari dunia antah berantahkah asal-usul mereka? Ku tak ingin darah mulia nenek moyangku dikotori segumpal nanah milik lelaki jahanam haram jadah. Nujum para puyang mengenai kedatangan mereka dan penistaan terhadap Pokok Suci Melasa Kepappang juga tak boleh dilupakan. Sayangi kehormatanmu dan harga diriku, Putri Dalomku. Ibu memohon…”
Suara menghiba Ibu Ratunya seakan kembali terdengar dibawa semilir angin perbukitan Bedudu-Belappau. Kata-kata yang terucap lirih kala dirinya masih tergolek lemah beberapa hari setelah peristiwa menggemparkan lebih dari setahun yang lalu di Lamban Dalom Bunuk Tenuagh. Saat itu Sindi berkeras dan membabi-buta hendak mencelakai diri sendiri demi menyelamatkan kekasih hatinya beserta ayah dan ketiga saudara lelaki Maulana Belunguh dari serbuan mata pedang Ibu Ratunya.
Kini bisikan separuh mengancam separuh memohon itu kembali terngiang. Mengetuk-ketuk alam bawah sadarnya. Menyerunya untuk menyesali segala kealpaannya. Namun Sindi tak hiraukan semua itu. Mata hatinya telah lama dibutakan oleh cinta pada Belunguh. Cinta itu telah pun berpinak menjadi janin yang kini tengah dikandungnya. Belum lagi betapa ajaran Jalan Yang Lurus telah menyanderanya dalam labirin tak berpintu. Dulu, ia seringkali bersesal hati karena telah khianati Ibu Ratu, Melasa Kepappang dan keagungan Wangsa Sekala Bgha. Dulu, ia merasai dirinya sebagai pendurhaka tak termaafkan. Akan tetapi itu dulu, tatkala cinta butanya terhadap Belunguh belum bersekutu dengan keimanannya pada Allah Ta’ala dan Lelaki Mulia Nan Terpuji sebagai utusan-Nya. Kini sesalnya hanyalah pada takdir Illahi yang tak memberinya kesempatan untuk sekejap saja saksikan detik-detik kepulangan Ibu Ratunya menuju baka.
* * * * *
“ALLAH saja yang berhak menempatkan Yang Mulia Pun Beliau Ratu Sekeghumong dalam tempat yang layak. Hanya kepada Yang Maha Pengampun kita pohonkan keluasan hati-Nya demi pengampunan dosa ke atas diri beliau. Bertabahlah Sindi anakku, hanya do’a tak putus yang mesti kita panjatkan kepada Allah Ta’ala semata.”
Sindi mengangguk ragu sembari terus sesenggukan mendengar perkataan ayah mertuanya. Lelaki tua nan bijaksana itu sejak semula telah mewanti-wanti kemungkinan-kemungkinan terburuk dan tak terduga berkaitan dengan perkawinannya dengan Belunguh.
“Sepanjang yang ku ketahui, inilah perkawinan termahal dalam sejarah umat manusia dimana dendam kesumat dan perbedaan keyakinan dilebur oleh sucinya perkawinan”, kesah Maulana Penggalang Paksi di hari perkawinan Sindi dengan Maulana Belunguh di lereng gunung Pesagi berbulan-bulan yang lalu.
Ucapan ayah mertuanya belasan bulan lalu itu pada akhirnya menemui bukti yang nyata di depan matanya, kini disini di atas Perbukitan Bedudu. Perkawinannya dengan Belunguh memang coba leburkan gurat dendam agar tak terwariskan kepada anak cucu. Namun perkawinan itu tetap tak juga mampu menggagalkan kematian penguasa terakhir Sekala Bgha sebagai tumbalnya.
* * * * *
SINDI terbangun kala azan subuh menyeruak udara gigil Al Liwa. Suara nyaring Maulana Belunguh suaminya terdengar lantang menantang digdaya alam raya Sekala Bgha. Seusai ziarah kubur nan mengharubiru ke makam ibunya di Perbukitan Bedudu kemarin pagi ia tak ingat apa-apa lagi. Kesedihan tak terpermanai telah meruntuhkan jiwa dan raganya. Sindi sungguh-sungguh terpukul saksikan jasad ibunya terkubur tanpa punya kesempatan lagi untuk mengugat apalagi melawan dengan garangnya. Perempuan segagah itu harus dikalahkan kesombongannya sendiri. Sempat ia rasakan tangan kekar suaminya menggendongnya ke atas kereta kuda. Setelah itu ia sama sekali terlena dalam pingsannya. Ketika ia sadar tubuhnya tengah berbaring lemah dalam salah satu tenda kulit beruang di bekas pelataran Lamban Dalom Sekala Bgha.
“Ibunda Ratu…”, ucapnya lirih memangil nama ibunya tatkala menyadari ia sedang terbaring tak jauh dari puing-puing istana kebanggaan Ratu Penunggang Harimau. Sakit hati yang dikalahkan kecintaannya kepada Belunguh tiba-tiba terbit kembali. Tetapi Sindi pun sadar bahwa ia takkan dapat berbuat apa-apa demi lampiaskan segala sakit hati itu. Tangis tersedu-sedu dan memilukan akhirnya yang terdengar dari mulutnya. Sebagai penuntas rasa kesal dan sesal dihati yang akan terus berurat-berakar melampaui keturunan ketujuh.
Diam-diam Belunguh saksikan perilaku istrinya dengan hati terenyuh. Perempuan terkasihnya itu menenggelamkan mukanya pada kedua belah tangan. Tubuh Sindi terguncang-guncang menahan sebak dan duka cita. Belunguh hampiri belahan hatinya, merangkulnya dalam kasih tulus ala suami pilihan. Tak sia-sia Sindi mempertaruhkan selembar nyawa demi mendapatkan cinta seorang Belunguh. Ia dapatkan seorang lelaki penyayang sebagai pengganti mendiang ibunya.
“Mari bersembahyang subuh, Humairaku, kekasihku berpipi gembil merona”, rayu Maulana Belunguh.
Sindi tak menjawab. Ia malah lekas jatuhkan kepalanya pada dada bidang lelaki itu. Kemudian tangis duka citanya kembali menghiba. Terdengar sesak dan cekat. Ia tumpahkan segala rasa sesal dan kesal itu. Belunguh membalas sedu sedan itu dengan membelai rambut legam perempuannya. Aroma melati bercampur harum minyak kesturi tercium perlahan.  
“Allah Maha Tahu namun Ia menunggu usaha dan doa kita kaum beriman.”
Sindi pasrah pada bujukan suaminya. Ia biarkan Belunguh menuntunnya menuju tempat bersuci tak jauh dari situ. Keduanya pun bergabung dengan Maulana Bersaudara dan ratusan prajurit Syahadat untuk memulai sembahyang subuh berjamaah.
* * * * *
“PERGI kemanakah engkau duhai sesembahan bangsa Tumi?”, tanya Sindi pada diri sendiri ketika menyadari pohon nangka bercabang dua itu tak lagi berada di tempatnya. Degup jantungnya berubah kencang tatkala menyadari bangunan kayu yang meneduhi pohon ajaib itu pun telah bertukar wujud menjadi kayu bakar tak bernilai. “Adakah sesuatu yang buruk telah menimpamu wahai pohon Melasa?”
“Demi menjamin tegaknya Al Liwa di bumi Sekala Bgha kami memutuskan menebang Melasa Kepappang. Tiada Ilahi melainkan Allah semata dan Lelaki Mulia Nan Terpuji merupakan utusan-Nya. Pembiaran terhadap pohon nangka bercabang dua itu hanya akan melahirkan kesyirikan dan pendurhakaan tak terampuni di mata Allah.”
Kata-kata yang terucap dari mulut Maulana Penggalang Paksi seusai sembahyang subuh seolah menjawab tanya Sindi. Melasa Kepappang telah dimusnahkan demi kedaulatan Tuhan baru beserta Nabi-Nya. Pohon nangka bercabang dua dianggap sebagai penghalang bagi tegaknya Ketauhidan ajaran Jalan Yang Lurus di bumi Sekala Bgha.
Putri Dalom Sekala Bgha memiliki keintiman khusus dengan dewa tertinggi sesembahan suku Tumi itu. Sepertimana Ibu Ratunya dulu seringkali dibawa serta ayahandanya Pangeran Muncak Bawok memuja Melasa Kepappang, begitupun Sindi sepeninggal Akannya Umpu Betawang kerapkali menemani ibunya menyembah sang dewa penghuni pohon nangka bercabang dua. Ia merasakan betapa pohon nangka ajaib itu memiliki jiwa yang bersemayam secara misterius. Alam bawah sadarnya berucap bahwa ruh itu mengada secara alamiah dan selalu menyapanya dari balik reranting, dahan, dan batang pohon Melasa Kepappang.
Sindi yakin hanya dirinya yang terpilih untuk mendengar suara agung nan misterius penghuni pohon nangka ajaib sesembahan bangsa Tumi itu.
“Bahkan Ibu Ratu tak diperkenankan untuk mendengar lisan-Mu, wahai Dewata”, ucap Sindi pada diri sendiri dalam keyakinan yang utuh.
Namun kini kedigdayaan pohon nangka bercabang dua telah lenyap belaka. Kekuasaan Agung yang lain telah menampakkan dirinya tanpa malu-malu di setiap jengkal Tanah Bumi Sekala Bgha. Kekuatan besar itu mengatasi segala hal yang telah bertahta sebelumnya. Menjatuhkan Perempuan Penunggang Harimau dari kursi Pepadunnya sekaligus membubarkan kuasa purba Sekala Bgha, mengusir semua dewa yang pernah menghuni bebatu dan setiap Mesigit; serta menggulingkan kedaulatan Melasa Kepappang sebagai kuasa spiritual tertinggi. Disebabkan peristiwa yang terakhir pula dada Sindi terasa berdentam-dentam.
“Ayah…”, suara Sindi terdengar tercekat.
“Gerangan apa yang membuat hatimu berduka, Anakku?”, Maulana Penggalang Paksi seolah tahu kegalauan tengah menimpa menantu perempuannya itu.
“Adakah keberadaan Melasa Kepappang merupakan dosa besar bagi kita kaum beriman? Bukankah ia hanya sebatang pohon belaka?”
“Sebatang pohon jika ia tak pernah disembah atau didewakan, akan tetapi Melasa Kepappang bukan pohon biasa”, berkata ayah para Maulana dengan nada lemah lembut, “Ia turut menentukan jatuh bangun Sekala Bgha. Ia dipuja dan disembah melebihi dewa-dewi yang pernah diagungkan anak cucu La Laula. Melasa Kepappang adalah lambang kedewaan tertinggi bangsa Tumi. Pembiaran terhadap keberadaannya adalah sama dengan membiarkan rakyat Sekala Bgha terus menerus teringat pada kemusyrikan. Semua itu akan bermuara pada penyekutuan terhadap Allah Ta’ala. Camkan itu baik-baik putri kesayanganku.”
Sindi tak tahu lagi harus membalas dengan perkataan apa hujahan tegas ayah mertuanya itu. Kepalanya menunduk. Ia sungguh tak ingin berdebat. Dan memang tak ada gunanya membela mati-matian sebatang pohon yang telah tumbang dan menjadi bangkai itu. Sementara ia rasai berpasang-pasang mata suami dan ketiga iparnya menelisik setiap bahasa tubuhnya, setiap gerak tangan hingga bibirnya. Entah curiga apa yang menatah dihati keempat lelaki muda yang amat ia hormati dan cintai. Sindi menyesal karena pertanyaannya justru telah memunculkan benih-benih ketidak percayaan terhadap dirinya. Pelan-pelan ia kuasai diri yang tengah dikecambahi kerinduan terhadap Pokok Suci Melasa Kepappang, namun semakin hendak ia pupuskan rasa rindu itu justru semakin tumpahruah perasaan itu mengkili-kili ulu hatinya….
* * * * *
            Melewati waktu Isya suara tangisan Sindi kembali terdengar dari dalam kemahnya. Tempat berteduh dari gigilnya angin dingin negeri pegunungan itu berbentuk segi empat dan terbuat dari kulit beruang. Keempat sisi kemah dihubungkan oleh bambu buntu dan diikat oleh otot kerbau hutan.
            “Tak baik menangis terus seperti itu, Humairaku sayang”, suara lembut Maulana Belunguh menelisik hingga gendang telinga sang Putri Dalom Sekala Bgha, “Kenanglah setiap pahit getir kehidupan dengan senyuman, kekasihku.”
            Belunguh biarkan perempuan terkasihnya itu tenggelam dalam pelukannya. “Tandaskan tangismu, jangan ada kesedihan tersisa. Suamimu adalah sebaik-baik tempat mencurahkan isi hatimu”, bisik lelaki muda perantau Peureulak.
Suara penuh cinta dan sayang itu malah membuat tangis Sindi semakin menghiba. Kata-kata suaminya gagal sebagai penawar bagi dukanya yang terlampau lara. Ucapan Belunguh melahirkan kesadaran nan getir bagi dirinya. Kesadaran yang serupa takdir itu sendiri.
Kini ia hanya seorang perempuan muda sebatangkara. Ayahnya telah lama tiada terbunuh oleh racun sebukau bikinan Nyekhupa, saudara iparnya sendiri. Ibu Ratunya pun mati sia-sia dalam pertempuran hidup dan mati melawan saudara iparnya yang lain, Maulana Pernong. Sementara kakak tertuanya Kekuk Suik hilang tak berbekas setelah Sekala Bgha jatuh ke tangan Tentara Syahadat. Kini tiada lagi tempatnya mencurahkan isi hati selain suami tercintanya Maulana Belunguh. Perkataan lelakinya adalah benar adanya, ia seorang yatim piatu tanpa sesiapa jua di dunia ini.
“Kepada siapa lagi sikindua mengadu dan berkasih-kasihan, kepada siapa lagi selain Abang Belunguh tempat seorang Sindi berkeluh-kesah. Sikindua tak lain seorang perempuan yatim piatu…”
Semakin terenyuh perasaan Belunguh mendapati istrinya berkata seperti itu. Memang benar adanya kini Sindi adalah tanggungjawabnya dunia dan akhirat. Kelak ia harus pertanggungjawabkan segalanya di depan Hakim  Agung Allah Subhanahuwata’ala.
“Tiada seorang pun yang berhak menyentuh dirimu, wahai kekasih. Suamimu ini adalah tameng bernyawa bagi  hidup dan matimu”, bisik penuh cinta Maulana Belunguh coba usir segala sesal dan risau yang tengah menjajah perasaan hati Putri Dalom Sindi.
Malam itu Sindi dan Belunguh tenggelam dalam cumbu rayu percintaan layaknya sepasang kekasih pilihan. Setiap puji dan bujuk rayu itu telah tepikan setiap kesedihan yang terlanjur tumpah sejak kemarin. Semua dikalahkan oleh suatu ingatan bahwa percintaan mereka yang mengharubiru itu telah menghasilkan benih suci murni yang segera terlahir beberapa bulan mendatang.
“Semoga kehadiranmu kelak dapat lunturkan dendam yang pernah singgah, Nak”, bisik Belunguh pada perut istrinya
* * * * *
            PEMUJAAN pada malam itu tak terlupakan oleh Sindi seumur hidupnya. Itulah pemujaan terakhir Melasa Kepappang bagi dirinya bersama-sama keluarga besar Lamban Dalom Sekala Bgha. Peristiwa itu terjadi hanya beberapa minggu sebelum akhirnya ia nekat memutuskan sebambangan dengan Maulana Belunguh. Saat itu bulan purnama tampil dengan anggunnya. Menyinari seluruh Tanah Bumi Sekala Bgha tanpa terkecuali. Bulan yang perlihatkan dirinya sepenuh jasad mengisyaratkan misteri tersembunyi dari alam raya tak tergapai. Rembulan yang bulat nampak berwarna keperakan hingga setiap lekuk darinya begitu jelas terlihat umpama urat pipi gadis perawan yang tengah beranjak remaja. Sindi ingat betapa wajah ibunya tak putus bermuram durja selama berlangsungnya pemujaan itu. Ada kerut kekesalan tak biasa yang ia temui disana. Amarah dan sakit hati disebabkan keagungan dan kewibawaan Sekala Bgha perlahan-lahan terkikis sejak kedatangan lima lelaki durjana dari utara. Sindi ingat betul bagaimana ibunya sama sekali tak memperhatikan setiap patah kata dari rapal mantra yang diucapkan Pendita Utama Negeri Sekala Bgha, Gajah Mececak. Tangan Sekeghumong pun terlihat gemetar kala Gajah Mececak mempersilahkan dirinya memulai ritual dengan membakar kemenyan dan memercikkan air suci dari kaki gunung Pesagi. Harum dupa dan setanggi menjadi terasa hambar. Puja-puji dan ayat-ayat dewata pun tiada bermakna lagi, bagai suara ribuan lebah berdengung memekakkan telinga.
            “Itulah pemujaan terakhir bagi kami, Abang Belunguh”, berkata Sindi dengan suara separuh tak rela.
            “Aku disana saat pemujaan terakhirmu itu. Diam-diam saksikan engkau bersama Ibu Ratu dan Pun Beliau Pangeran Kekuk Suik tengah menyembah pohon celaka itu. Kau begitu cantik dalam balutan pakaian sutra cina berwarna biru. Adakah perjaka yang lebih berbahagia bila dapat tuntaskan rasa rindunya dengan mengintip diam-diam kekasihnya yang tersandera oleh cinta terlarang?”
Sindi terperanjat mendengar pengakuan suaminya. Benarkah yang didengarnya ini? Ia tak sangka Belunguh tengah berada disana hanya untuk sekedar mematuti dirinya. Melunaskan rindu dendam yang dibatasi sempadan keyakinan dan kesumat.
“Mengapa Abang senekat itu…”
“Dapatkah Adinda rasakan betapa sakitnya hati ini menahan rasa rindu tak terkira? Peristiwa pengusiran kami oleh Ibunda Ratu meninggalkan kekhawatiran terhadap engkau kekasihku. Perbuatan Adinda yang mencelakai diri sendiri demi membebaskan kami sungguh membuatku tak dapat tidur nyenyak. Akhirnya ku putuskan bersama Nyekhupa menyelinap ke Lamban Dalom Sekala Bgha. Semua itu hanya sekedar untuk memastikan dengan mata dan kepalaku sendiri bahwa Humairaku, Putri Dalom Sekala Bgha, dalam keadaan  baik-baik saja, tak berkurang sesuatu pun…”
Sindi terharu mendengar pengakuan suaminya. Betapa besar cinta dan pengorbanan Belunguh terhadapnya. “Apa yang akan terjadi bila malam itu penyusupan yang dilakukan Abang Belunguh dan Nyekhupa diketahui prajurit peronda Lamban Dalom? Ahhhh…” Sindi kibaskan pikiran tak bermuasal itu.
Ia tak ingin mengira-ngira segala hal yang tak sepatutnya terjadi. Semestinya ia syukuri kejadian buruk tak menimpa kekasih dan saudara iparnya. Semestinya ia sadari bahwa janin yang tengah tidur nyenyak di dalam perutnya adalah berkat terhindarnya suaminya dari peristiwa buruk yang mungkin menimpa.
“Bersyukurlah kepada Allah semata karena malam itu penyusupan Abang Belunguh dan Nyekhupa tak diketahui oleh tentara peronda..”
“Bersyukur pula kepada Allah sehingga tubuh kami berdua tak sempat dicincang pemanohan Ibunda Ratu..”, potong Belunguh sambil tersenyum getir.
Sindi membalas senyuman suaminya dengan tawa lirih tak kalah getir.
“Aku tahu perasaanmu terhadap lenyapnya Melasa Kepappang. Memang tak mudah mencabut begitu saja kepercayaan yang nyaris menguasai setiap tetes darah dalam tubuh kita.
Tetapi kedatangan keyakinan baru yang menempatkan Allah sebagai kuasa tunggal atas diri dan kehidupan kita semestinya dapat kita terima dengan ikhlas dan tanpa paksaan. Kehadiran Allah dan Jalan Yang Lurus dalam kehidupan kita sepatutnya sanggup mengusir kepercayaan-kepercayaan lama terhadap pokok laknat itu dan berhala-berhala sejenis.”
“Bukankah engkau telah belajar menerima Allah dan Rasul-Nya sebagai kuasa tertinggi dan manusia termulia, Humairaku sayang?”
Suara Belunguh yang terdengar lembut namun tegas justru mengatupkan sama sekali bibir mungil Putri Dalom Sekala Bgha.
“Aku tak memaksamu melupakan begitu saja kenangan manis bersama Melasa Kepappang. Mungkin terlalu banyak kenangan indah yang tercipta antara kalian seisi Lamban Dalom Sekala Bgha dengan pokok keramat itu. Tapi ku mohon Humairaku sayang, jangan engkau campur adukkan setiap ajaran lama yang mengandung kesesatan dengan kalam Ilahi yang berpijak pada ajaran Jalan Yang Lurus…”
“Sekalipun hanya untuk mengenang, Abang Belunguh kahut?”, Sindi menyela.
“Kenanglah bila itu mampu membuatmu bahagia dan tersenyum cerah, kekasihku. Tetapi dengarlah ucapan suamimu ini…”, Belunguh kemudian meraih kedua tangan Sindi dalam genggamannya, “Janganlah sekali-kali kita sebagai manusia beriman menduakan Allah dengan tuhan-tuhan lain yang tak jelas asal-usulnya. Allah Maha Besar, hanya Ia yang patut disembah. Tiada sekutu bagi-Nya.
Dan pahamilah betapa Allah itu pencemburu, wahai perempuanku terkasih. Allah tak ingin kesetiaan kita kepada-Nya terbagi. Bukankah engkau juga menolak bila aku jatuh hati pada perawan jelita suku Tumi yang lain?”
Seloroh Belunguh membuat pipi gembil Sindi merona merah. “Akan ku sobek-sobek dada Abang Belunguh dengan pemanohan Ibunda Ratu bila berani berlaku seperti itu.” Suara manja Putri Dalom Sekala disusul cubitan demi cubitan ke dada dan pipi suaminya itu. Belunguh tak menghindar. Ia hanya tergelak senang meladeni kemanjaan istrinya.
Namun diam-diam dari lubuk hatinya yang paling dalam kerinduan Sindi terhadap Melasa Kepappang masih berdentam-dentam menuntut penyalur. Kelak, walau telah menjadi pendamping setia Belunguh seringkali ia kenang masa-masa itu tatkala suara gaib penghuni Melasa Kepappang menyapa dengan keramahan tak terpermanai. Mengunjungi sang Putri Dalom dari balik tirai alam bawah sadarnya. Suara agung itu begitu ia kagumi dan sayangi, sebab hanya Sindi seorang yang diperkenankan mendengar wahyu dan titah-Nya. Diam-diam suara yang terngiang-ngiang begitu jelasnya itu pernah menantang keyakinan barunya terhadap Allah Yang Tunggal. Suara dari kuasa purba yang terakhir kali di dengarnya di bulan bakha belasan purnama yang lalu.*****

1 komentar: